12.13.2008

EGO SEKTORAL DAN PENGANGKATAN PPAT

Pengangkatan PPAT yang tidak sama dengan tempat kedudukan Notaris, terus menuai kritik. Beberapa pihak mensinyalir kejadian ini lebih disebabkan oleh ego masing-masing instansi BPN dan DEPHUKAM. Pihak DEPHUKAM merasa bahwa setelah di undangkan undang-undang jabatan Notaris (UU No. 30/2004), tidak perlu lagi kordinasi dengan BPN berkaitan dengan penentuan formasi jabatan disetiap daerah, karena berdasarkan pasal 15 ayat 3 huruf f uu tersebut, seseorang yang telah diangkat menjadi Notaris otomatis berwenang juga membuat akta tanah. Melihat kewenangan pengangkatan PPAT diambil alih DEPHUKAM, BPN pun melakukan perlawanan dalam bentuk counter opini dengan melibatkan beberapa pakar. Dengan adanya perdebatan tersebut nampaknya DEPHUKAM sudah tidak bergairah lagi mendorong pelaksanaan pasal tersebut, apalagi disaat SISMINBAKUM menjadi kasus, sudah tidak terdengar lagi isu pelaksanaan pasal tersebut yang bersumber dari jalan Rasuna Said. Sedangkan INI (Ikatan Notaris Indonesia), sebagai organisasi yang turut merumuskan pasal tersebut, seperti biasanya hanya bersikap konservatif, padahal peluang untuk menguji PP 37/98, tentang peratutan jabatan PPAT di Mahkamah Agung terbuka lebar. Kondisi tersebut sebetulnya dapat di pahami, karena memang disamping kultur INI yang masih bersifat konservatif, diantara anggota INI yang juga menjadi pengurus PPAT, tidak mau keharmonisan hubungannya terganggu dengan adanya isu pasal tersebut, bagi mereka keharmonisan lebih penting dibanding memperjuangkan pasal 15 UUJN, karena ini menyangkut kelancaran pekerjaan sebagai PPAT, dimana BPN merupakan muara terakhir dari produksi akta yang dibuat di kantor PPAT. dan keharmonisan pun mencapai puncaknya, pada saat organisasi PPAT bersama-sama dengan BPN mengadakan pelatihan PPAT di Jogya tahun 2007.

Dengan adanya kondisi tersebut, yang menjadi korban adalah ratusan Notaris dan PPAT baru, mereka dihadapkan pada kondisi dilematis, karena tidak ada jaminan kalau mereka tidak ikut ujian PPAT, mereka bisa membuat akta tanah, sedangkan kalau mereka ikut ujian, formasi yang diplih sesuai denga tempat kedudukan Notaris sudah tertutup, begitu juga bagi mereka yang ikut PPAT tapi belum Notaris, sehingga tidak aneh kalau ratusan calon PPAT yang lulus ujian tahun 2007 kemarin, ternyata tidak sesuai dengan tempat kedudukan Notarisnya, padahal kejadian tersebut tidak perlu terjadi kalau kedua instansi tersebut melakukan kordinasi, apa susahnya BPN dan DEPHUKAM saling memberikan informasi daerah yang masih terbuka dan yang tertutup untuk penggangkatan Notaris dan PPAT, kalau itu dilakukan, tidak mengorbankan Notaris dan PPAT baru, karena mereka sudah susah payah menempuh pendidikan dengan biaya yang tidak kecil, pada saat akan menikmati hasilnya kenyataan berbicara lain.

Pengangkatan PPAT yang tidak sama dengan tempat kedudukan Notaris, terus menuai kritik. Beberapa pihak mensinyalir kejadian ini lebih disebabkan oleh ego masing-masing instansi BPN dan DEPHUKAM. Pihak DEPHUKAM merasa bahwa setelah di undangkan undang-undang jabatan Notaris (UU No. 30/2004), tidak perlu lagi kordinasi dengan BPN berkaitan dengan penentuan formasi jabatan disetiap daerah, karena berdasarkan pasal 15 ayat 3 huruf f uu tersebut, seseorang yang telah diangkat menjadi Notaris otomatis berwenang juga membuat akta tanah. Melihat kewenangan pengangkatan PPAT diambil alih DEPHUKAM, BPN pun melakukan perlawanan dalam bentuk counter opini dengan melibatkan beberapa pakar. Dengan adanya perdebatan tersebut nampaknya DEPHUKAM sudah tidak bergairah lagi mendorong pelaksanaan pasal tersebut, apalagi disaat SISMINBAKUM menjadi kasus, sudah tidak terdengar lagi isu pelaksanaan pasal tersebut yang bersumber dari jalan Rasuna Said. Sedangkan INI (Ikatan Notaris Indonesia), sebagai organisasi yang turut merumuskan pasal tersebut, seperti biasanya hanya bersikap konservatif, padahal peluang untuk menguji PP 37/98, tentang peratutan jabatan PPAT di Mahkamah Agung terbuka lebar. Kondisi tersebut sebetulnya dapat di pahami, karena memang disamping kultur INI yang masih bersifat konservatif, diantara anggota INI yang juga menjadi pengurus PPAT, tidak mau keharmonisan hubungannya terganggu dengan adanya isu pasal tersebut, bagi mereka keharmonisan lebih penting dibanding memperjuangkan pasal 15 UUJN, karena ini menyangkut kelancaran pekerjaan sebagai PPAT, dimana BPN merupakan muara terakhir dari produksi akta yang dibuat di kantor PPAT. dan keharmonisan pun mencapai puncaknya, pada saat organisasi PPAT bersama-sama dengan BPN mengadakan pelatihan PPAT di Jogya tahun 2007.

Dengan adanya kondisi tersebut, yang menjadi korban adalah ratusan Notaris dan PPAT baru, mereka dihadapkan pada kondisi dilematis, karena tidak ada jaminan kalau mereka tidak ikut ujian PPAT, mereka bisa membuat akta tanah, sedangkan kalau mereka ikut ujian, formasi yang diplih sesuai denga tempat kedudukan Notaris sudah tertutup, begitu juga bagi mereka yang ikut PPAT tapi belum Notaris, sehingga tidak aneh kalau ratusan calon PPAT yang lulus ujian tahun 2007 kemarin, ternyata tidak sesuai dengan tempat kedudukan Notarisnya, padahal kejadian tersebut tidak perlu terjadi kalau kedua instansi tersebut melakukan kordinasi, apa susahnya BPN dan DEPHUKAM saling memberikan informasi daerah yang masih terbuka dan yang tertutup untuk penggangkatan Notaris dan PPAT, kalau itu dilakukan, tidak mengorbankan Notaris dan PPAT baru, karena mereka sudah susah payah menempuh pendidikan dengan biaya yang tidak kecil, pada saat akan menikmati hasilnya kenyataan berbicara lain.

1 comments:

OPINI

Puisi Rendra

Classical music

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP